Upacara ini merupakan salah satu budaya asli Indonesia yang sampai sekarang masih ada dan masih dilakukan. Hal ini dikarenakan upacara tersebut merupakan ritual adat pemakaman dari masyarakat Toraja yang bertujuan mengantarkan arwah orang yang telah meninggal menuju alam roh, yaitu alam dimana para leluhur mendapatkan keabadian di sebuah tempat peristirahatan abadi yang dinamakan
Puya. Upacara pemakaman ini terkadang baru bisa dilakukan oleh keluarga yang ditinggalkan karena upacara pemakaman ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa mencapai ratusan hingga milyaran rupiah. Oleh sebab itu, keluarga yang ditinggalkan baru bisa melakukan upacara tersebut beberapa minggu sampai bertahun-tahun untuk bisa mengumpulkan biaya upacara tersebut.
Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara ini merupakan acara tradisi yang sangat mewah di Tana Toraja, karena memakan waktu lama untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan membutuhkan waktu 3-5 hari. Bahkan bisa sampai tiga minggu untuk kalangan para bangsawan. Tempat untuk menaruh jasad juga harus tinggi karena menurut kepercayaan di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Puncak dari Upacara Rambu Solo’ disebut dengan Rante. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual mulai dari proses pembungkusan jenazah (ma’tudan mebalun), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma’popengkalao alang), dan ritual ma'pasonglo yang merupakan ritual membawa jenazah dari bagian bawah bukit ke puncak bukit (tempat persemayaman terakhir). Selain itu, terdapat juga berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, seperti adu kerbau dan pementasan tari ma'badong. Yang membuat budaya ini unik adalah kerbau disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Hal ini dikarenakan Suku Toraja percaya bahwa setiap arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya menuju keabadian. Semakin banyak kerbau yang ditebas, maka arwah tersebut akan lebih cepat sampai ke tempat abadi. Selain itu, tidak hanya kerbau yang menjadi bekal saat melakukan perjakan ke tempat abadi, tetapi juga berupa pakaian, perhiasan, hingga uang yang dihantarkan bersama jenazah ke tempat peristirahatan.
Bagi para leluhur yang sudah meninggal sebelumnya, dapat pula dititipkan persembahan korban sembelihan lewat arwah jenazah yang sedang diupacarakan. Keyakinan yang mereka percaya sejak zaman leluhur ini menggambarkan kesetiaan dan kecintaan suku Toraja kepada para leluhur baik dalam hidup dan matinya. Kekuasaan di bumi yang perbuatannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk tidak hanya merupakan sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan antara agama, hukum, dan kebiasaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, serta ritual keagamaan. Tata cara Aluk mungkin berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.Hal tersebut dikarenakan Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan karena kedua ritual tersebut memiliki arti yang sama pentingnya.
Unsur dan Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Rambu Solo:
Upacara Rambu Solo memiliki beberapa luhur dalam kehidupan masyarakat, seperti gotong royong dan tolong-menolong. Meskipun terlihat sebagai perilaku boros karena mencari harta untuk dihabiskan dalam suatu kematian, unsur gotong-royong yang terlihat sangatlah jelas, contohnya dalam menyediakan kerbau. Suatu keluarga jasad mendapat sumbangan kerbau, babi, atau uang dari keluarganya untuk melaksanakan Upacara Rambu Solo.
Perilaku tolong-menolong juga memiliki arti penting dalam pelaksanaan Rambu Solo. Upacara ini dilakukan oleh siapa pun yang mampu. Terkadang, ada juga pembagian daging kerbau kepada orang-orang yang tidak mampu. Hal ini dapat mengurangi jarak antara kesenjangan sosial.
Selain dua nilai di atas, nilai religi juga termasuk dalam upacara Rambu Solo. Masyarakat Toraja percaya bahwa kematian sebenarnya tidak perlu untuk ditakuti karena mereka percaya bahwa ada kehidupan lain setelah kematian. Menurut mereka, kematian adalah bagian dari suatu kehidupan yang wajib dijalani. Walau biasanya diisi oleh isak tangis, kematian juga menjadi hal yang menyenangkan karena akan membawa manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan kata lain, mereka percaya adanya kehidupan baru setelah kematian.
Dalam upacara kematian Rambu Solo, jarang jika ada keluarga yang menangisi sang jasad, sebab mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada sang jasad, sebab jasad yang sudah mati akan disimpan dalam rumah adat ( tongkonan ). Lamanya waktu penyimpanan bisa mencapai hitungan tahun. Ada beberapa hal yang menjadi tujuan jasad disimpan , pertama adalah menunggu sampai keluarga mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, kedua adalah menunggu sampai anak-anak dari jasad datang semua untuk siap menghadiri upacara kematian ini. Karena menurut mereka orang yang sudah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap hanya sakit, karena dianggap masih “ sakit “. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.
Perubahan dalam Upacara Rambu Solo:
1.Keluarga jasad yang sudah meninggal tidak perlu untuk merawat seperti orang hidup.
2.Biaya upacara Rambu Solo tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar.
3.Para Leluhur yang meninggal terlebih dahulu tidak dititipkan lagi persembahan.
Kaitan Manusia dengan Budaya Rambu Solo:
Hubungan antara manusia dengan kematian sangat erat. Oleh karena itu, sebagai manusia biasa kita tidak harus selalu menangisi orang yang sudah meninggal karena ada kehidupan yang lebih baik setelah kematian
Sumber :
http://tulisananakkos.wordpress.com/2010/06/24/makalah-rambu-solo-upacara-kematian-di-tana-toraja/